TRANSPORTASI - Bayangkan ini: pagi yang biasa di Jakarta. Jalanan penuh mobil dan motor, klakson bersahut-sahutan, suara deru mesin memenuhi udara. Kita semua tahu, setiap pagi, jalanan seperti medan perang, namun kali ini, kita bukan bicara soal kemacetan kendaraan, tapi soal kemacetan lain yang lebih rumit—kemacetan berpikir para pemangku kebijakan.
Ada yang menarik di sini. Masyarakat kita sudah pasti akan terus menambah jumlah kendaraan pribadi, sementara jalanan tetap segitu-segitu saja. Kalau kita lihat, bukankah ini sudah hukum alam di kota besar? Tapi lucunya, para pejabat kita, yang harusnya duduk di kursi nyaman mereka sambil memikirkan solusi, malah asyik mengobrol soal pembangunan jalan tol baru atau pelebaran jalan. Ah, ide yang itu-itu lagi!
Yang jadi pertanyaan adalah: adakah di antara mereka yang kepikiran membuat transportasi umum yang murah, nyaman, dan cukup canggih untuk menyaingi kendaraan pribadi? Faktanya, jalan pikir mereka pun ikut macet di tengah rencana-rencana yang selalu setengah hati. Padahal, ada kementerian yang khusus dibentuk untuk mengurus ini, namun entah kenapa, pikiran inovatif itu seperti enggan keluar dari kepala mereka.
Di negara-negara maju, transportasi umum sudah jadi pilihan utama. Di Singapura, naik MRT itu seperti jaminan untuk tiba tepat waktu. Di Jepang, naik Shinkansen sudah seperti ritual untuk pulang kampung. Sementara di kita? Bayangkan kereta atau bus kota yang panas dan penuh sesak, belum lagi jadwal yang tak bisa diandalkan. Apakah mereka tidak melihat perbedaan ini?
Baca juga:
12 Titik Jalan Berlubang Jadi Fokus BBPJN
|
Sebenarnya, kita butuh keberanian dari para pejabat ini untuk berpikir di luar kebiasaan—keluar dari kemacetan berpikir, kalau boleh dibilang. Mereka harus berhenti berpikir bahwa solusi kemacetan adalah jalan baru atau menambah kapasitas jalan yang ada. Mereka harus mulai berpikir bahwa solusi adalah memberikan pilihan pada masyarakat untuk tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Jadikan transportasi umum itu pilihan yang masuk akal, nyaman, dan mungkin bahkan lebih cepat.
Dan sebenarnya ada banyak ide yang bisa dicoba, seperti membangun kawasan yang mendekatkan hunian dengan transportasi publik, atau menggunakan teknologi yang membantu masyarakat merencanakan perjalanan dengan lebih efektif. Sederhana, bukan? Tapi entah kenapa, ide ini sepertinya terhalang lampu merah di benak para pemangku kebijakan.
Pada akhirnya, perubahan ini memang butuh keberanian dan cara pandang baru. Butuh lebih dari sekadar ‘pekerjaan rutin’ untuk para pejabat. Jika mereka bisa keluar dari kemacetan berpikir ini, kita mungkin akan melihat hari di mana jalanan lebih lapang dan udara lebih bersih. Dan kita? Kita bisa tersenyum tanpa terjebak di tengah kemacetan yang tiada akhir.
Ah, mudah-mudahan saja suatu hari nanti, para pemimpin kita sadar bahwa solusi transportasi bukan hanya soal jalan, tapi soal pikiran yang tak ikut macet.
Jakarta, 29 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi